Pesantren, sebagai benteng tradisi keilmuan Islam di Indonesia, memiliki kurikulum khas yang tidak bisa dilepaskan dari peran Warisan Ulama Terdahulu. Inti dari warisan ini terwujud dalam keberadaan Kitab Kuning, koleksi literatur klasik Islam yang ditulis oleh para cendekiawan Muslim selama berabad-abad. Meskipun zaman terus bergerak dan teknologi berkembang pesat, Kitab Kuning tetap menjadi tulang punggung pendidikan di hampir setiap program pesantren. Keharusan mempertahankan pengkajian Kitab Kuning bukan sekadar melestarikan tradisi, melainkan fondasi metodologis untuk memahami Islam secara komprehensif, mendalam, dan otentik. \
Kitab Kuning berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan santri masa kini dengan pemikiran orisinal para ahli fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Dengan mengkaji langsung karya-karya seperti Tafsir Jalalain, Fathul Qarib, atau Ihya’ Ulumiddin, santri dilatih untuk memiliki sanad keilmuan yang jelas dan bersambung. Menurut hasil seminar nasional mengenai Revitalisasi Pendidikan Klasik yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada hari Rabu, 23 Juli 2025, Ketua Komisi Fatwa MUI menegaskan bahwa penguasaan Kitab Kuning adalah prasyarat mutlak bagi calon ulama agar mampu berijtihad dengan landasan yang kuat.
Melalui Kitab Kuning, santri tidak hanya belajar tentang hukum-hukum agama, tetapi juga tentang metodologi berpikir yang terstruktur (manhaj al-fikr). Mereka diajarkan ilmu alat seperti Nahwu (Gramatika Arab) dan Sharaf (Morfologi Arab), yang memungkinkan mereka menafsirkan teks-teks Al-Qur’an dan Hadis secara tepat dan kontekstual. Proses pengkajian yang intensif ini, sering kali melalui metode bandongan atau sorogan, menuntut ketekunan dan kedalaman analisis. Sebuah laporan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama setempat pada tanggal 1 September 2025 mencatat bahwa pesantren yang mempertahankan kurikulum Kitab Kuning secara ketat memiliki alumni yang lebih siap menghadapi perbedaan pandangan keagamaan secara bijak dan ilmiah.
Kitab Kuning, sebagai Warisan Ulama Terdahulu, juga memainkan peran krusial dalam melawan paham-paham keagamaan radikal atau menyimpang. Dengan mempelajari keragaman pandangan yang diakomodasi dalam literatur klasik, santri diajarkan tentang sikap moderat (tawassuth) dan toleransi (tasamuh) yang menjadi ciri khas Islam Nusantara. Mereka memahami bahwa perbedaan pendapat (khilafiyah) adalah keniscayaan yang telah diakui oleh para ulama empat mazhab sejak lama.
Oleh karena itu, mempertahankan Kitab Kuning adalah cara terbaik untuk menjaga orisinalitas pemahaman Islam. Warisan Ulama Terdahulu ini memastikan bahwa praktik keagamaan santri berakar kuat pada tradisi keilmuan yang sahih, bukan sekadar respons emosional terhadap isu-isu kontemporer. Upaya ini merupakan bentuk penghormatan dan pelestarian Warisan Ulama Terdahulu demi mencetak generasi Muslim yang ‘alim (berilmu) dan ‘amil (mengamalkan).