Suara Emas dari Pondok: Membangun Kepercayaan Diri Santri Melalui Seni Tilawah dan Nagham

Di pesantren, pembelajaran Al-Qur’an melampaui sekadar hafalan dan ketepatan tajwid; ia juga mencakup seni melantunkan bacaan (Tilawah) dan lagu (Nagham). Program ini berperan signifikan dalam Membangun Kepercayaan Diri santri, mengubah mereka dari pembaca biasa menjadi qari dan qariah yang mampu memukau audiens. Membangun Kepercayaan Diri melalui seni Tilawah ini adalah proses yang membutuhkan latihan intensif, bimbingan vokal, dan keberanian tampil di depan umum. Membangun Kepercayaan Diri melalui kemampuan Tilawah tidak hanya bermanfaat di mimbar, tetapi juga dalam aspek komunikasi dan kepemimpinan santri.

Program Tilawah dan Nagham biasanya diselenggarakan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib atau pilihan bagi santri yang memiliki bakat vokal. Santri akan dibimbing oleh Muqri’ (guru Tilawah) untuk menguasai berbagai macam maqamat (tangga nada) dalam membaca Al-Qur’an, seperti Bayyati, Shoba, hingga Rast. Latihan rutin ini tidak hanya fokus pada teknik suara dan pernapasan, tetapi juga pada etika membaca Al-Qur’an. Intensitas latihan menuntut santri untuk terus mengasah kemampuan mereka. Sebagai contoh, di Pondok Pesantren Seni dan Qira’ah, latihan vokal dan pernapasan dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu sore, selama dua jam penuh, di bawah pengawasan Ustadz spesialis Qira’ah Sab’ah.

Sistem di pesantren sengaja dirancang untuk Membangun Kepercayaan Diri santri melalui performa publik yang terstruktur. Santri yang dianggap sudah mahir akan diikutsertakan dalam berbagai kompetisi Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), mulai dari tingkat antar-pesantren hingga tingkat provinsi. Selain itu, mereka sering diberi kesempatan untuk menjadi qari dalam acara-acara internal pondok (seperti malam Jum’at atau acara perpisahan). Berdiri di hadapan audiens yang besar, mengendalikan pernapasan, dan menjaga fokus adalah ujian mental yang secara langsung meningkatkan keberanian dan mengurangi kecemasan berbicara di depan umum.

Dampak positif seni Tilawah meluas hingga kemampuan berkomunikasi harian. Santri yang terbiasa melantunkan ayat dengan intonasi yang baik cenderung memiliki artikulasi yang jelas dan suara yang mantap saat berbicara. Kepercayaan diri yang terbentuk di panggung Tilawah menjadi modal penting saat mereka menjadi khatib (pemberi khutbah) atau da’i (juru dakwah) di masyarakat. Dengan menggabungkan disiplin ilmu Tajwid yang akurat dan keindahan seni Nagham, pesantren berhasil mencetak qari dan qariah yang tidak hanya indah suaranya, tetapi juga kuat mental dan karakternya.