Pesantren adalah sebuah kawah candradimuka, tempat di mana santri tidak hanya diasah otaknya dengan ilmu agama dan umum, tetapi juga ditempa jiwanya. Lingkungan asrama yang serba terbatas dan jadwal yang super ketat secara sengaja diciptakan untuk membentuk Mentalitas Baja, sebuah ketahanan psikologis yang memungkinkan santri belajar mengatasi kesulitan, menyelesaikan konflik, dan bangkit dari kegagalan. Kemampuan beradaptasi dan ketangguhan inilah yang menjadi modal utama mereka saat kembali ke tengah masyarakat, menghadapi realitas kehidupan yang jauh lebih kompleks.
Pembentukan Mentalitas Baja ini dimulai dari rutinitas harian yang menantang. Santri diwajibkan menjalani hidup yang sangat minim fasilitas dan jauh dari kenyamanan rumah. Tidur beramai-ramai di asrama, makan dengan menu sederhana yang sama setiap hari, serta jadwal belajar dan ibadah yang ketat dari sebelum subuh hingga larut malam adalah bagian dari proses riyadhah (latihan spiritual dan fisik). Sebagai contoh, santri di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, menjalani hari yang dimulai pukul 03.00 pagi dengan salat malam dan berakhir pukul 22.00 malam setelah sesi belajar wajib. Konsistensi dalam menjalani jadwal yang menuntut pengorbanan ini melatih santri untuk mengendalikan hawa nafsu dan membangun ketahanan diri.
Selain kesulitan fisik, Mentalitas Baja juga ditempa melalui konflik sosial yang tak terhindarkan di lingkungan komunal. Santri harus tinggal bersama puluhan, bahkan ratusan, teman sebaya dari berbagai latar belakang budaya, suku, dan temperamen. Perbedaan kebiasaan, mulai dari cara mengatur barang hingga perbedaan pendapat dalam diskusi keagamaan (mudzakarah), seringkali memicu ketegangan. Namun, pesantren memiliki mekanisme penyelesaian konflik yang ketat, di mana perselisihan harus diselesaikan secara kekeluargaan di bawah bimbingan Pengurus Keamanan Santri, yang berperan layaknya mediator. Jika konflik tidak terselesaikan, kasusnya akan dinaikkan ke tingkat Ustaz Pembimbing. Pada kasus perselisihan yang terjadi pada hari Rabu, 17 Januari 2024, di salah satu kamar asrama Pondok Pesantren Assalam, Sukabumi, penyelesaiannya diatur oleh Ustaz Pembimbing Asrama dengan mewajibkan kedua santri pelaku konflik untuk berpuasa sunah dan membaca istighfar 100 kali sebagai sanksi edukatif.
Mekanisme ini mengajarkan santri dua hal penting: pertama, bahwa konflik adalah bagian alami dari interaksi manusia; dan kedua, bahwa menyelesaikannya dengan kepala dingin dan adab adalah kunci. Mereka belajar berempati, berkompromi, dan memaafkan, sebuah proses yang mengubah kesulitan menjadi kekuatan. Dengan demikian, pesantren berhasil membangun Mentalitas Baja pada diri santri, bukan melalui kemudahan, melainkan melalui penugasan kesulitan yang terstruktur dan sistematis. Ketika lulus dan kembali ke masyarakat pada tahun 2028, bekal ketahanan ini menjadikan mereka individu yang adaptif dan memiliki kemampuan problem-solving yang teruji.