Dari Kitab ke Sikap: Pengetahuan Agama Menjadi Moralitas di Pesantren

Pendidikan pesantren dikenal dengan sistemnya yang unik, di mana ilmu tidak hanya diajarkan di dalam kelas, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pilar utama yang membedakan pesantren adalah penekanannya pada pengetahuan agama secara mendalam, terutama melalui kajian kitab kuning. Metode ini bukan hanya sekadar membaca teks, melainkan proses yang kompleks untuk memahami makna, konteks, dan relevansi ajaran Islam dari sumber aslinya. Artikel ini akan mengupas tuntas metode-metode tradisional yang digunakan di pesantren, serta mengapa pendekatan ini tetap relevan dan efektif hingga kini.

Kitab kuning adalah kitab-kitab klasik berbahasa Arab tanpa harakat yang menjadi kurikulum utama di pesantren salaf. Kitab-kitab ini mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari fikih, tafsir, hadis, akidah, hingga tasawuf. Tanpa harakat, santri dituntut untuk menguasai tata bahasa Arab (nahwu dan shorof) agar dapat membaca dan memahami teks dengan benar. Proses pengetahuan agama dengan kitab kuning ini melatih ketelitian, daya ingat, dan pemahaman yang mendalam. Santri tidak hanya menerima ilmu secara pasif, tetapi juga aktif terlibat dalam proses penalaran dan interpretasi. Hal inilah yang membuat pengetahuan agama dalam belajar agama di pesantren sangat berharga.

Ada dua metode utama yang paling sering digunakan dalam kajian kitab kuning, yaitu metode sorogan dan bandongan. Metode sorogan adalah sistem di mana santri secara individu menghadap kiai untuk membaca dan mengkaji kitab. Santri akan membacakan teks, dan kiai akan memberikan penjelasan, koreksi, dan pemahaman yang lebih mendalam. Sistem ini menciptakan interaksi personal yang kuat antara guru dan murid, memungkinkan kiai untuk memantau perkembangan setiap santri secara langsung. Sementara itu, metode bandongan dilakukan secara kolektif, di mana kiai membacakan kitab dan santri menyimak sambil membuat catatan. Metode ini memungkinkan kiai untuk mengajar banyak santri sekaligus, dan santri belajar untuk mendengarkan dengan seksama dan mencatat dengan cepat.

Selain itu, belajar agama di pesantren tidak hanya berorientasi pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik. Santri tidak hanya dituntut untuk hafal dan paham, tetapi juga untuk mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, ilmu fikih tentang salat akan langsung dipraktikkan saat salat berjamaah. Ini adalah pengetahuan agama dari seorang kiai. Pada tanggal 10 Januari 2025, dalam acara peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Hikmah di kota Bandung, seluruh santri mempraktikkan salat hajat dan doa bersama, menunjukkan kesolidan dan kekhusyukan mereka dalam beribadah.

Kesimpulannya, pesantren adalah lembaga pendidikan yang unik, di mana belajar agama tidak hanya berfokus pada hafalan, tetapi juga pada pemahaman dan pengamalan. Melalui metode-metode tradisional seperti sorogan dan bandongan, pesantren berhasil mencetak generasi yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Inilah yang menjadikan sistem pendidikan pesantren tetap relevan dan dihormati hingga kini.