Isu perundungan (bullying) di lingkungan pendidikan asrama sering menjadi kekhawatiran utama orang tua. Namun, pesantren modern telah mengembangkan sistem berlapis yang efektif, menjadikan Antisipasi Bullying sebagai prioritas utama dalam operasional harian. Antisipasi Bullying ini tidak hanya mengandalkan aturan ketat, tetapi juga berakar pada penanaman adab (etika) dan ukhuwah (persaudaraan) yang mendalam. Dengan Antisipasi Bullying yang proaktif dan holistik, pesantren berupaya keras Mencegah Kecelakaan sosial dan psikologis pada santri, menjamin setiap individu mendapatkan Manfaat Psikologis dari Pendidikan Holistik dalam lingkungan yang aman dan suportif.
1. Sistem Pengawasan Berjenjang (Hierarki Keamanan)
Pesantren menerapkan Model Pendidikan Pesantren dengan sistem keamanan yang unik, melibatkan tiga lapis pengawasan:
- Pengurus Keamanan Senior: Santri senior yang ditunjuk dan dilatih untuk menjadi mata dan telinga pengawas. Mereka bertanggung jawab langsung kepada Ustadz Pembina Keamanan.
- Wali Kamar/Asrama: Setiap kamar memiliki wali yang bertanggung jawab atas kondisi dan hubungan antar santri di dalam kamar tersebut. Mereka melaporkan indikasi Resolusi Konflik yang tidak terselesaikan atau perilaku yang menyimpang.
- Ustadz Pembina: Mereka adalah pengawas tertinggi di lapangan, yang secara rutin melakukan patroli dan sesi mentoring.
Di Pesantren Al-Amin, misalnya, Ustadz Huda, selaku Kepala Keamanan, wajib melakukan apel pengawasan harian dengan seluruh pengurus santri setiap pukul 20.30 WIB. Dalam apel tersebut, dibahas dan dianalisis semua laporan harian, termasuk adanya gesekan atau ketidaknyamanan antar santri, memastikan tidak ada masalah yang terlewat.
2. Penanaman Adab sebagai Benteng Moral
Pencegahan bullying yang paling ampuh di pesantren adalah penanaman adab atau etika sosial. Adab diajarkan sebagai ilmu utama, bahkan sebelum ilmu fiqih, sesuai dengan pepatah “Belajar adab sebelum belajar ilmu.” Konsep saling menghormati dan tidak merendahkan ditekankan dalam pengajian Kitab Kuning tentang Akhlak.
3. Sanksi Edukatif dan Mediasi
Ketika insiden terjadi, pesantren cenderung menggunakan ta’zir (sanksi edukatif) daripada hukuman fisik. Hukuman seringkali diarahkan untuk Membangun Karakter dan meredakan konflik.
- Mediasi: Setiap kasus perselisihan diselesaikan melalui mediasi oleh pengurus senior atau Ustadz. Seringkali, santri yang berselisih diwajibkan untuk berpuasa bersama atau membersihkan area tertentu bersama-sama selama tiga hari, yang secara simbolis mengajarkan rekonsiliasi.
- Keterlibatan Aparat: Untuk kasus yang sangat serius, pesantren tidak ragu bekerja sama dengan pihak luar. Misalnya, pada kasus perkelahian serius yang terjadi pada Selasa, 19 Juli 2025, pihak pesantren segera berkoordinasi dengan Bhabinkamtibmas setempat, Aiptu Budi Santoso, untuk memberikan konseling pencegahan dan sosialisasi hukum pidana kepada seluruh santri, sebagai bagian dari upaya Mencegah Kecelakaan yang lebih besar.
Melalui kombinasi pengawasan ketat, nilai-nilai spiritual yang kuat, dan mekanisme penyelesaian masalah yang terstruktur, pesantren berhasil menciptakan lingkungan yang aman bagi Jejak Santri untuk belajar, bertumbuh, dan Mengasah Jiwa Kepemimpinan tanpa rasa takut.